Indo Jambi – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Fatwa setebal 10 halaman tersebut berisikan konsideran yang cukup panjang, dari halaman 1 sampai dengan halaman 8, dan sisanya baru berisikan putusan fatwa yang berisikan 9 poin.
Fatwa ini disikapi beragam oleh umat, ada yang setuju namun ada yang kontra. Yang setuju tentu telah membaca dan menelaah dengan baik isi fatwa tersebut. Yang menolak diduga terbagi dua, ada yang sudah membacanya dan sebagian besar dipastikan tidak atau belum membacanya. Kalaupun membaca hanya dari judul berita di media, seumpama judul: “Fatwa MUI: Umat Islam Diperbolehkan Tidak Sholat Jumat karena Virus Corona” (Kompas, 16 Maret 2020). Di media sosial judul ini dibahas oleh si alim dan si awam, bahkan ada yang membully MUI.
Bagaimana sebuah fatwa muncul? Sebuah fatwa hadir bisa karena adanya pertanyaan dari perseorangan atau lembaga, bisa pula sebagai rekasi atas peristiwa yang terjadi. Fatwa bukanlah suatu jawaban atas pertanyaan imajinatif yang dibuat-buat oleh mufti, melainkan fatwa menandai hubungan antara syariah (hukum Islam) dan dunia konkret manusia sekaligus menjadi titik temu (meeting point) antara hukum dan kenyataan.
Fatwa telah ada seiring sejarah agama Islam. Ketika Nabi masih hidup, semua pertanyaan dan permasalahan umat dikembalikan kepada beliau. Begitu pula ketika zaman Khulafa’urrasyidin, sang khalifah sebagai pemutus masalah umat. Pada zaman kejayaan hukum Islam, fatwa bisa ditentukan oleh para mujtahid mutlak semisal Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii atau Imam Ahmad bin Hanbal.
Berbeda pada zaman modern ini, ketika tidak ada ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak, dan seiring semakin kompleknya persoalan zaman, maka fatwa lazimnya diserahkan kepada lembaga yang sudah ditentukan semisal di Indonesia adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Peran ini menempatkan MUI untuk memberikan fatwa terutama persoalan berkaitan dengan hukum Islam, baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa MUI mengakomodir dan menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia yang sangat beragam aliran dan paham dan pemikiran serta organisasi keagamaannya. (Lihat Buku Pedoman Fatwa MUI, 2011).
Sebelum timbul fatwa, biasanya MUI akan melakukan musyawarah dan jika diperlukan akan meminta keterangan pihak yang berkompeten sebagai bagian dari pertimbangan hukumnya. Demikian pula fatwa nomor 14 tahun 2020 ini, MUI telah meminta pendapat ahli dan dokter bahkan guru besar bidang kesehatan, yaitu Prof Dr Budi Sampurno, guru besar bidang medikolegal Fakultas Kedokteran UI dan Prof drh Wiku Adisasmito, Ketua Tim Pakar Satgas Covid-19. Inti dari fatwa tersebut menjelaskan tentang pelaksanaan ibadah dalam situasi pandemi Covid-19 dengan tujuan mencegah penyebaran penyakit tersebut di antara umat Muslim.
Tak lama setelah fatwa ini terbit, muncullah beragam statemen khususnya di media social. Umpama ungkapan “jangan takut Corona, takut itu hanya kepada Allah”. Kalimat ini kelihatannya benar dan menggambarkan keimanan mereka yang tinggi, tapi sebenarnya “sarat akan paham Jabariyyah”. Lalu bagaimana dengan keimanan Baginda Nabi yang mengatakan “Larilah engkau dari wabah menular sebagaimana larinya engkau dari singa” (HR. Bukhari). Apakah mereka lebih tinggi keimanannya dari keimanan Baginda Nabi?.
Penulis meyakini, mereka yang bersikap demikian belum membaca secara utuh dan memahami isi fatwa. Fenomena kalimat-kalimat di atas merupakan bentuk bagaimana otoritas keilmuan tak lagi dihargai, baik ilmu agama maupun sains, dan ironisnya hal itu dilakukan dengan “bungkusan agama”. Padahal Allah berfirman: “Tanyakanlah kepada ahli ilmu apabila engkau tak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43).
Tak mungkin para ulama berfatwa tanpa pemahaman agama yang kuat. Mesir, Saudi Arabia, Kuwait, diantara negara-negara yang lebih dahulu mengeluarkan fatwa berkaitan dengan ibadah jumat selama wabah corona berlangsung. Mereka berfatwa dengan ilmu, ribuan hadits mereka hafal. Tak perlu ditanya mengenai hafalan Quran mereka, jangankan ulama, disana orang “biasa” hafal Quran bukan hal “luar biasa”. Para ulama sangat paham bagaimana “himayatun nafs” yang merupakan salah satu “maqashid syariah”.
Para ulama berfatwa berlandaskan pada pengetahuan mendalam mereka terhadap agama setelah mendengarkan ahli virus corona. Maka merendahkan fatwa mereka dapat dimaknai penegasian terhadap otoritas keilmuan agama dan sains sekaligus. Jika suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, nantikanlah kebinasaan yang akan datang.
Sebenarnya fenomena “ngeyel” terhadap fatwa ulama bukan saja terjadi sekarang, sejak zaman Imam Ibnu Hajar al-Asqallani sudah banyak manusia yang masih saja membantah terhadap fatwa, sehingga ulama besar ini perlu menyusun kitab yang diberi judul “Badzlu al-Maa’un fi Fadhl at-Tha’uun”.
Menarik untuk di simak, dalam kitab ini diceritakan bahwa ketika terjadi wabah penyakit di kota Damaskus pada tahun 764 H, manusia berkumpul untuk berdoa bersama di suatu lapangan, apa yang terjadi? Justru setelah terjadi kumpulan massa tersebut korban meninggal malah lebih banyak yang berjatuhan dibandingkan sebelumnya. Lalu pada tahun 833 H di kota Cairo juga terjadi hal yang sama, yakni pengumpulan massa untuk doa bersama, jika korban jiwa sebelum acara tersebut hanya 40 orang, namun setelahnya malah membengkak lebih dari 1000 lebih nyawa melayang, mayat bergelimpangan, bahkan sampai terbengkalai relawan tidak kuasa menguburkannya. (halaman 328-329).
Hari ini, fatwa para ulama tentang ibadah ketika wabah corona ini sudah cukup banyak, mau yang lokal seperti NU, Muhammadiah dan MUI, ataupun yang luar negeri. Mau yang versi salafi atau versi Al-Azhar, sepakat semua menjaga agar tidak terjadi penyebaran virus corona atau covid-19, dengan cara meniadakan shalat berjamaah termasuk shalat Jumat bagi daerah yang zona merah. Bahkan termasuk dua kota suci Mekkah dan Madinah pun dibatasi.
Dalam diktum putusannya, MUI menyatakan bahwa setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkannya terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams). al-Dharuriyat al-Khams yang dimaksud di sini adalah menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga akal, menjaga harta. Memelihara lima hal tersebut sering disebut sebagai tujuan hadirnya agama ini (maqashid al-syariah). Dan dalam poin ini adalah kita menjaga jiwa, kehidupan yang telah Allah berikan ini jangan sampai mati sia-sia karena tidak mentaati sunnatullah.
Selanjutnya dinyatakan bahwa orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur di tempat kediaman, karena shalat jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/ rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar. Poin ini menjelaskan bahwa telah terpapar virus ini tidak boleh menularkan penyakitnya kepada orang lain, sebagaimana maksud hadits “La dharara wa la dhirara” (jangan sampai jadi korban kemudharat dari orang lain dan juga tidak boleh jadi penyebab kemudharatan bagi orang lain) atau “adhdhararu yuzalu” (segala yang mengakibatkan kemudharatan harus dihilangkan). Sejauh informasi yang penulis dapatkan, di beberapa negara seperti Taiwan dan Italia akan memberikan denda yang tinggi bagi penderita corona yang masih jalan-jalan. Sedangkan Arab Saudi mendenda mereka yang melanggar jam malam (pukul 19.00 s.d 06.00) sebesar Rp.40.000.000.
Selanjutnya, orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar Covid-19, harus memperhatikan, jika ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.
Dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/ rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
Hari ini ada sebagian orang yang merasa imannya cukup tebal, lalu dalam ceramah atau status facebooknya menyatakan “jangan takut pada Corona, takut hanya pada Allah”. Padahal, ini adalah kalimat manis namun logikanya salah. Tentu tak bisa membandingkan ketakutan kepada Allah sang Khaliq dengan wabah yang makhluk. Ungkapan tersebut bisa kita kiaskan dengan “jangan takut pada singa, tapi takutlah kepada Allah”. Maka silahkan yang tidak takut kepada singa untuk masuk ke kandang singa. Padahal nabi sendiri bersabda: “Larilah engkau dari wabah menular sebagaimana larinya engkau dari singa” (HR. Bukhari).
Ada pula yang mengatakan “Tak mungkin Allah turunkan wabah kepada orang-orang shalih”. Kalimat ini tampak seperti benar, tapi ada kerancuan. Kalau diyakini bahwa wabah hanya akan mengenai orang kafir/ahli maksiat, lalu bagaimana dengan Sahabat mulia Muadz bin Jabal yang wafat karena wabah penyakit saat itu?. Apakah keimanan beliau lebih rendah dari keimanan mereka yang mengatakan kalimat di atas?
Ada pula “tapi mesjid ini adalah rumah Allah, tak mungkin Allah turunkan wabah di rumah-Nya, maka fatwa MUI itu keliru”. Ini pun tampak manis didengar, tapi bagaimana dengan sabda Baginda: “Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat.” (HR. al-Bukhari). Hadits ini bersifat umum, di semua tempat. Sebagaimana maklum, Masjidil Haram Mekkah dan Masjid Nabawi Madinah pun hari ini telah ditutup untuk umum. Manakah lagi tempat yang lebih mulia disbanding dua tempat tersebut. Bahkan dalam sejarahnya, otoritas Mekkah pernah beberapa kali menutup haji karena berbagai peristiwa, diantaranya karena wabah menular.
Pada zaman khalifah Umar bin Khattab, pernah terjadi wabah di negeri Syam, sedangkan waktu itu Umar sudah dekat dan akan masuk ke kota itu, namun Umar disusul oleh Gubernur Syam Abdullah bin Jarrah di perbatasan dan menceritakan tentang keadaan daerahnya, maka Umarpun memutuskan untuk tidak masuk Syam dan kembali ke Madinah.
Selevel Umar yang terkenal hebat dan tangguh pun menghindar dari wabah. Bahkan beliau malah mengatakan dengan tegas “kita lari dari satu takdir Allah kepada takdir Allah yang lain.” Dengna kata lain, urusan nyawa memang di tangan Allah. Tapi masuk ke area wabah secara sengaja, namanya bukan percaya takdir, bukan pertanda iman tebal. Itu namanya bunuh diri, dan itu adalah sesuatu yang terlarang (QS. An-Nisa’: 29).
Jika ada sebagian jemaah yang memaksa ingin ke masjid dengan alasan toh ia tidak sakit, maka boleh jadi ia tidak merasa sakit karena kebetulan daya tahan tubuhnya masih kuat. Namun hanya Allah saja yang tahu kalau ia membawa virus penyakit itu ke masjid apa tidak. Boleh jadi tanpa sadar justru ke masjid itu malah menulari orang lain segitu banyak. Sebagian orang di masjid mungkin tetap terlihat sehat saja terkena virus yang ia bawa, karena proses positifnya tidaknya seseorang itu kena virus tidak langsung serta merta tumbang, namun memakan waktu sekitar 14 hari. Maka jika kemudian kehadirannya membawa virus jahat buat orang lain, disitulah ia jadi berdosa besar, karena sudah jadi penyebab kemudharatan bagi orang lain.
Sejauh pengamatan penulis, hari ini sudah ada beberapa daerah rawan wabah (zona merah) yang telah meliburkan shalat Jumat, seperti Jakarta, sebagian Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur, dan beberapa kabupaten lainnya sesuai dengan kondisi daerah. Untuk Kuala Tungkal dimana penulis berdomisili masih tetap melaksanakan Jumat namun dengan beberapa hal yang harus diperhatikan seperti anjuran khutbah dan shalat yang tidak panjang, tidak bersalaman, dan membawa sejadah sendiri. Kondisi ini tentu bisa saja berubah sesuai dengan perkembangan penularan virus, maka hukumpun akan berubah dan mengikutinya, karena hokum Islam itu sesuai dengan segala situasi (shalih likulli zaman wa makan) dan berubahnya suatu hukum tergantung dengan penyebab (illat) hukum itu sendiri.
Jadi, fatwa ini sudah tepat dan untuk menjawab problematika yang tengah dihadapi umat dan untuk menjaga jiwa/kehidupan umat. Namun yang perlu diingat adalah, gugurnya pelaksanaan shalat Jumat tidak menggugurkan kewajiban shalat zhuhur, dimanapun dan dalam kondisi apapun.
Semoga saja semangat keberagamaan teman-teman yang “semangat 45” di atas terus berlanjut baik ketika ada wabah atau ketika kondisi normal kembali. Semoga wabah ini segera berlalu dan kita sambut Ramadhan mulia dengan ceria. Aamiin.
Penulis adalah Komisi Fatwa MUI Tanjab Barat/Wakil Ketua PA Kuala Tungkal.